(LA PAROLE) Laman tentang, Bahasa, Sastra, dan Wisata

Rabu, 16 Juni 2010

DIALEKTOLOGI BAHASA MINANGKABAU DIALEK AGAM TANAH DATAR SUB DIALEK PARIAMAN

DIALEKTOLOGI BAHASA MINANGKABAU ISOLEK PARIAMAN.doc

Bahasa Melayu Pattani Download di sini

target=_blank>Bahasa Melayu.pdf
foto

Morfofonemik Bahasa Minangkabau

*Bahren

I. Pendahuluan

Bahasa menunjukkan bangsa. Paling tidak itulah sebuah tamsil atau pepatah lama menyebutkannya. Lain dari pada itu, bahasa juga merupakan sebuah konvensi dari para penggunanya. Karena merupaka konvensi, bisa jadi bahasa pun digunakan oleh kelompok tertentu untuk memperlihatkan identitas mereka. Inilah saya, inilah kami, ketika sebuah pertanyaan muncul mengapa mereka menggunakan bahasa seperti itu. rupakan salah satu bagian dalam kebudayaan yang ada pada semua masyarakat di dunia.

Bahasa terdiri atas bahasa lisan dan tulisan (Koentjaraningrat,1980 : 9). Sebagai bagian dari kebudayaan di mana manusia memegang peranan penting, bahasa juga turut ambil bagian dalam peran manusia itu karena fungsinya sebagai alat komunikasi yang terus berkembang sesuai dengan perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Karena bagian dari budaya dan peranannya terhadap manusia inilah maka bahasa perlu dilestarikan, terutama yang berkenaan dengan pemakaian bahasa daerah karena merupakan lambang identitas suatu daerah, masyarakat, keluarga dan lingkungan.

Di samping berfungsi sebagai alat komunikasi, bahasa juga dapat diidentifikasi menurut ciri-cirinya seperti bunyi (Dineen 1967:6). Bunyi adalah kesan pada pusat saraf sebagai akibat dari getaran gendang telinga yang bereaksi karena perubahan-perubahan dalam tekanan udara ( Chaer 1994:43).

Bahasa daerah merupakan bahasa yang bisanya digunakan oleh masyarakat di suatu daerah. Pemakai bahasa daerah dapat menciptakan kehangatan, dan keakraban, oleh karenanya bahasa daerah diasosiasikan dengan perasaan, kehangatan, keakraban dan spontanitas (Alwasilah, 1993).Bahasa Minangkabau (selanjutnya di singkat BM) merupakan bahasa yang digunakan di seluruh wilayah Propinsi Sumatra Barat minus Mentawai karena mentawai memiliki bahasa sendiri dan tidak termasuk ke dalam salah satu dialek BM. BM memiliki berbagai dialek di antaranya dialek Rao Mapat Tunggul, dialek Muara Sungai Lolo, dialek Payakumbuh, dialek Pangkalan Lubuk, dialek Agam-Tanah Datar, dialek Pancung Soal, dan dialek Koto Baru. (Nadra Dkk, 3.2009).

Bunyi dalam bidang linguistik dapat dipelajari dalam kajian fonologi dan morfofonemik. Istilah morfofonemik atau morfofonologi muncul pertama kali pada kongres pakar Filologi Slavic di Praha Oktober 1929. Istilah ini dipopulerkan oleh Trubetskoy pada tahun 1933. Bloomfield (1933) dalam tulisannya mencantumkan istilah morfofonemik pertama kali. Hal ini terjadi pada bidang Linguistik di Amerika yang kemudian penelitian di bidang ini dilanjutkan oleh pengikut Sapir, Swadesh yang membedakan fonologi dari fonemik.

Morfofonem adalah satuan fonologis yang sepadan dengan beberapa fonem yang muncul dalam alomorf-alomorf dari morfem tertentu; misalnya //N// adalah morfofonem yang direalisasikan dalam alomorf [mən], [məŋ], [mən], dan [mə] yang masing-masing adalah anggota gari morfem {meN}. (Kridalaksana. 142-2001)

Morfofonemik juga dipadankan dengan morfofonologi yaitu 1. analisis dan klasifikasi pelbagai ujud dan realisasi yang menggambarkan morfem; 2. struktur bahasa yang menggambarkan pola fonologis dari morfem; termasuk di dalamnya penambahan, pengurangan, penggantian fonem, atau perubahan tekanan yang menetukan bangun morfem. (Kridalaksana. 142-2001).

Pada penelitian awal, proses morfofonemik juga terjadi dalam BM dengan ditemukannya proses pemunculan fonem misalnya, munculnya konsonan alveolar nasal /N/ dalam konstruksi kombinasi prefiks /ma-/ + /danga/ [mandanga] ‘mendengar’. Ditemukannya juga proses peluluhan fonem misalnya, luluhnya konsonan alveolar tak bersuara /s/ menjadi konsonan bilabial nasal /ŋ/ pada konstruksi kombinasi prefiks /ma-/ + /susu/ [maŋusu] ‘menyusu/ menetek’.

Secara teoritis gramatika sebuah bahasa sekurang-kurangnya memiliki empat komponen: kata (leksikon) yang dibahas dalam morfologi, bunyi bahasa (tata bunyi) yang dipelajari dalam fonologi, tata kalimat yang dipelajari melalui sintaksis dan makna bahasa yang dipelajari dalam semantik (Culicover, 1976 :1-2). Untuk beberapa kasus dan gejala kebahasaan tertentu pembahasaan melibatkan dua atau lebih cabang yang telah disebutkan di atas maka dalam linguistik dikenal istilah-istilah morfonologi/morfofonemik, morfosintaksis dan morfosemantik. Pada Makalah kali ini akan dibahas masalah-masalah yang berkaitan dengan morfofonemik dalam bahasa Minangkabau. Masalah ini akan dilihat dari segi proses morfofonemik yang dikemukakan oleh Soegijo yang meliputi:

1. Pemilihan

2. Pemilihan dan pergeseran

3. Pemilihan, penghilangan, dan pergeseran

4. Penghilangan

5. Penambahan

6. Pergeseran, dan

7. Penambahan

Kesemua proses ini akan melibatkan bahasa Minangkabau sebagai sumber utama dari data yang akan ditampilkan. Hal ini berkaitan dengan apakah seluruh proses morfologis yang disebutkan Soegijo itu juga ada dalam bahasa Minangkabau.

2. Pembahasan

Secara gramatika sebuah bahasa setidaknya memiliki empat komponen, yaitu: kata (leksikon) yang dibahas dalam morfologi, bunyi bahasa (tata bunyi) yang dipelajari dalam fonologi, tata kalimat yang dipelajari melalui sintaksis dan makna bahasa yang dipelajari dalam semantik (Culicover, 1976 :1-2). Untuk beberapa kasus dan gejala kebahasaan tertentu pembahasaan melibatkan dua atau lebih cabang yang telah disebutkan di atas, dalam linguistik dikenal istilah-istilah morfonologi/ morfofonemik, morfosintaksis dan morfosemantik.

Morfofonemik berasal dari kata morph + o + phoneme + ics. Morph artinya bentuk, -o- adalah stem formatif atau pembentuk stem (bentuk dasar). Phoneme ialah bunyi bahasa yang referensial atau distingtif. Artinya bunyi bahasa berfungsi membedakan makna, sedangkan –ics adalah ilmu (Soegijo. 85). Sementara itu proses morfofonemis adalah proses perubahan-perubahan fonem atau alternasi-alternasi fonem akibat proses morfologis. Proses morfofonemis yang akan digunakan dalam menganalisis morfofonemik bahasa Minangkabau adalah proses-proses yang disebutkan oleh Soegijo, proses-proses ini meliputi:

1. Pemilihan

2. Pemilihan dan pergeseran

3. Pemilihan, penghilangan, dan pergeseran

4. Penghilangan

5. Penambahan

6. Pergeseran, dan

Proses-proses inilah yang akan dilihat pada bahasa Minangkabau. Apakah proses tersebut juga terjadi dalam bahasa Minangkabau atau justru sebaliknya.

a. Pemilihan

Soegijo menyebutkan pemilihan adalah istilah untuk proses pemilihan fonem nasal. Proses pemilihan fonem nasal I terjadi apabila prefik maN- atau paN- (baik meN-I atau maN-kan, baik paN- atau paN-an) bertemu dengan awal bentuk dasar selain /l, r, y, m, n, ñ, ŋ/. Namun dalam bahasa Minangkabau tidak terdapat bunyi / ñ, ŋ/ pada bentuk dasar Contoh:

maN- + cabuik à mancabuik ‘mencabut’

maN- + tari à manari ‘menari’

maN- + danga à mandanga ‘mendengar’

perubahan- perubahan tersebut sesuai dengan fonem awal bentuk dasarnya. Artinya bentuk nasal yang terjadi ditentukan oleh titik artikulasi fonem awal bentuk dasar.

b. Pemilihan dan Pergeseran

pemilihan seperti di atas yang dimaksud oleh Soegijo adalah pemilihan fonem nasal, sedangkan pergeseran adalah bergesernya fonem nasal ke belakang. Fonem nasal yang semula merupakan anggota prefik meN atau peN kemudian menjadi anggota atau bergabung dengan bentuk dasarnya. Namun’dalam bahasa Minangkabau prefik meN atau peN berubah menjadi prefik maN atau paN. Dalam bahasa Minangkabau hal seperti ini tidak terjadi sebagaimana dalam bahasa Indonesia.

prefik maN atau paN (Minangkabau)

ma + angkek

ma-angkek ‘mengangkat’

ma + anta

ma-anta ‘mengantar’

ma + ikua

ma-ikua ‘mengekor’

ma + esek

ma-esek ‘mengusap’

ma + ota

ma + ota ‘mengobrol’

c. Pemilihan, Penghilangan, dan Pergeseran

Pada tipe ini Soegiyo menyebutkan terjadi tiga proses, yaitu pemilihan fonem nasal yang sama titik artikulasinya dengan fonem awal bentuk dasarnya. Hilangnya fonem awal bentuk dasar, dan bergesernya fonem nasal prefik yang kemunian bergabung dengan bentuk dasarnya. Sama hal nya denga kasus sebelumnya, hampir seluruh betuk meN dalam bahasa Indonesia menjadi maN dalam bahasa Minangkabau. Berikut contoh –contoh dalam bahasa indonesi yang dipadankan dengan contoh dalam bahasa Minangkabau

1.

prefik maN plus fonem /p/ (Minangkabau)

ma + pakai

ma-m (p) akai ‘memakai’

ma + paso

ma- m (p) aso ‘memaksa’

ma + paku

ma-m (p) aku ‘memaku’

2.

prefik maN plus fonem /t/ (Minangkabau)

ma + tari

ma-n (t) ari ‘menari’

ma + tangkok

ma- n (t) angkok ‘menangkap’

ma + tiru

ma-n (t) iru ‘meniru’

3.

prefik maN plus fonem /s/ (Minangkabau)

ma + sangko

ma-ny (s) angko ‘menyangka’

ma + sariang

ma- ny (s) ariang ‘menyaring’

ma + sarang

ma-ny (s) arang ‘menyerang’

4.

prefik maN plus fonem /k/ (Minangkabau)

ma + kocok

ma-ng (k) ocok ‘mengocok’

ma + kabek

ma-ng (k) abek ‘mengikat’

ma +karek

ma-ng (k) arek memotong’

d. Penghilangan

pada bagian penghilangan ini Soegijo membagi atas tiga hal yaitu:

1. Fonem /r/ pada prefik ber, dan ter hilang apabila bertemu dengan bentuk dasar yang silabe petamanya homogen, atau fonem awal bentuk dasar itu /r/ contoh namun kasus dalam bahasa Minangkabaun untuk prefik ter yang berubah jadi ta dan ber menjadi ba tidak terjadi penghilangan bunyi /r/ baik pada silabe pertama yang homogen atau pada fonem awal /r/, hal ini dapat dilihat seperti contoh

Prefik ba dan ta plus bentuk dasar /r/ dan silabe pertama yang homogen (Minangkabau)

ba + karajo

ba + karajo ‘’bekerja’

ba + tabang-an

ba + tabangan ‘beterbangan’

ta + randam

ta + randam ‘terendam’

2. Fonem /r/ pada prefik per- hilang akibat bertemu dengan beberapa bentuk dasar, namun dalam bahasa Minangkabau, prefik per- sepadan dengan prefik pa-, bedanya hanya prefik pa- dalam bahasa Minangkabau tidak ada bagian yang hilang, misalnya:

Prefik pa tidak mengalami perubahan (Minangkabau)

pa + tani

patani ‘petani’

pa + dagang

padagang ‘pedagang’

pa + tinju

paninju ‘peninju’

Namun prefik pa- dalam bahasa Minangkabau yang bertemu dengan bentuk dasar yang di awali dengan fonem /t/ maka fonem /t/ tersebut berubah menjadi fonem /n/. Selain itu, dari segi kelas kata pun akan berubah dari kelas kata benda (tinju) menjadi kelas kata sifat (suka meninju).

3. Hilangnya Fonem-Fonem Nasal

Fonem nasal pada prefik meN- atau peN- hilang apabila prefik tersebut brtemu dengan bentuk-bentuk dasar yang berfonem awal: /l,r,y,w,n,ñ,ŋ/ misalnya

Prefik ma- dan pa- (Minangkabau)

ma + lupo-an

malupoan ‘melupakan’

ma + rawat

marawat ‘merawat’

ma + makan

mamakan ‘memakan’

5. Penambahan

a. Penambahan /w/

Penambahan fonem /w/ terjadi apabila bentuk dasar yang berfonem akhir /u, o, au/ bertemu dengan sufik –an atau bentuk dasar yang berfonem akhir /u/ dengan sufik /i/, namun dalam bahasa Minangkabau yang terjadi adalah bentuk dasar yang berfonem akhir /u/ bertemu dengan sufik –an. contoh:

Penambahan /w/ dalam bahasa (Minangkabau)

Tunggu + an

Tungguwan ‘tungguwi’

lalu + an

Laluwan ‘babakan’

sapu + an

sapuwan ‘ sapukan’

b. Penambahan /y/

Penambahan /y/ ini terjadi apabila bentuk dasar berfonem akhir /i, a/, bertemu dengan konfik ke-, -an. dalam bahasa Minangkabau hal ini juga terjadi. Namun. Bentuk dasar tidak mesti di dahului oleh prefik ke-, sebagai contoh:

Penambahan /y/ dalam bahasa (Minangkabau)

kunci + an

kunci-yan ‘kuncikan’

PaN + api + an

Parapi-yan ‘perapian’

Ka+lalai+an

Kalalai-yan ‘kelalaian’

c. Penambahan fonem /?/

Penambahan fonem /?/ terjadi apabila bentuk dasar yang berfonem akhir /a/ bertemu dengan sufik –an. misalnya: namun dalam bahasa Minangkabau hal ini tidak terjadi, penambahan /?/ hanya terjadi kalau fonem akhir bentuk dasar juga berbunyi /?/

Penambahan/?/ dalam bahasa (Minangkabau)

Masak+an

masak?an ‘masakkan’

Lalok+an

lalok?an ‘tidurkan’

duduak

duduak?an ‘dudukkan’

6. Pergeseran

Pergeseran ini seperti yang telah disebutkan oleh Soegijo bahwabertemunya afiks dengan bentuk dasar dapat terjadi juga pergeseran fonem. Maksudnya adalah bahwa suatu onem uang semula anggota salah satu morfem kemudian bergeser menjadi anggota morfem yang lain. Pergeseran ini bisa ke depan atau ke belakang, seperti contoh berikut:

Pergeseran fonem dalambahasa (Minangkabau)

sudah+i

suda-hi ‘sudahi’

darah+i

dara-hi ‘ darahi’

tambah+i

tamba-hi ‘tambahi’

Sepertinya dalam bahasa Minangkabau pergeseran fonem ini bisa terhadi untuk bentuk dasar yang diakhiri dengan fonem/h// seperti terlihat dalam contoh di atas.

7. Perubahan dan pergeseran

Perubahan dan pergeseran yang dimaksud oleh Soegijo adalah proses perubahan suatu fonem menjadi fonem lain, karena peristiwa berubahnya fonem itu disertai juga dengan pergeseran, proses itu sigolongkan ke dalam perubahan dan pergeseran, misalnya:

Perubahan dan Pergeseran fonem dalambahasa (Minangkabau)

ka+dudua?+ an

kadudua?an ‘kedudukan’

par+gara?+an

pargara?an ‘pergerakan’

di+duduak+i

diduduwa?i ‘diduduki’

3. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat di tarik sebuah kesimpulan terhadap morfofonemik dalam bahasa Minangkabau. Prosesn Morfofonemik yang terjadi mengikuti proses morfofonek dalam bahasa Indonesia yang dibagi menurut Soegijo. Dari proses-proses yang disebutkan oleh Soegijotersebut, hampir semua proses itu juga terjadi dalam bahasa Minangkabau, walaupun ada beberapa perbedaan. Perbedaan tersebut lebih disebabkan oleh perbedaan bentuk dasar dan kata yang ada dalam bahasa Minangkabau dan bahasa Indonesia yang juga berbeda. Perbedaan yang didapatkan antara lain adalah: 1. dalam bahasa Minangkabau prefik meN- atau peN- berubah bentuk menjadi maN- dan paN-. 2. Prefik ter- berubah menjadi ta- dan prefik ber- berubah menjadi ba-, namu tidak terjadi penghilangan bunyi /r/ baik pada silabe pertama maupun yang homogen atau pada fonem awal /r/. 3. Foenm /r/ pada prefik per- hilang akibat bertemunya dengan beberapa bentuk dasar, namun dalam bahasa Minangkabau prefik per- sepadan dengan prefik pa- bedanya hanya saja prefik pa- dalam bahasa Minangkabau tidak menghilangkan bagian manapun.Namun kalau bertemu dengan bentuk dasar yang diawali oleh fonem /t/ maka fonrm/t/ tersebut akan berubah menjadi fonem /n/.

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, C. 1993. Sosiologi Bahasa. Bandung T. Angkasa.

Bloomfield , Leonard .1933. Language. London: George Allen & Unwin Ltd.

Culicover, Peter W.1976 .Syntax .New York : Academic Press

Jufrizal, 1996. Morfofonemik Bahasa Minangkabau Dialek Padang Area. Tesis Untuk Program Magister Linguistik Universitas Udayana.

Katamba , Francis .1993. Morphology.London : Macmillan Press.

Parera, Jos Daniel. 1988. Morfologi. Jakarta : PT. Gramedia

Ramlan , M. 1990. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta : CV.Karyono.

BUNDO KANDUANG DAN BUNDO KA-ANDUANG

1. Pendahuluan

Asyik memang kalau setiap kali kita mendengar defenisi demi defenisi yang seringkali diberikan terhadap sosok perempuan di bumi Minangkabau ini. Pembicaraan tentang perempuan ini telah banyak memberikan berbagai informasi tentangnya. Hal ini menarik untuk dibahas karena berbagai persepsi yang ditimbulkannya. H. Idrus Hakimi Datuak Rajo Panghulu dalam bukunya “Peganggan Panghulu dan Bundo Kanduang dan Pidato Alua Pasambahan Adat di Minangkabu” menyebutkan Bundo Kanduang adalah panggilan terhadap golongan perempuan menurut adat Minangkabau, artinya Bundo adalah ibu dan Kanduang adalah sejati. Bundo Kanduang adalah ibu sejati memiliki sifat keibuan dan kepemimipinan.

Sistem matrilineal yang dipakai oleh orang Minangkabau secara tidak langsung telah membenarkan pendapat H. Idrus Hakimi tersebut, buktinya betapa pentingnya posisi seorang ibu, maka garis keturunan pun ditarik melalui garis ibu. Lebih lanjut H. Idrus Hakimi mengungkap dalam adat, Bundo Kanduang itu dihimpun dalam suatu ungkapan berbunyi:

Bundo Kanduang limpapeh rumah nan gadang, umbun puruak pagangan kunci, umbun puruak aluang bunian, pusek jalo kumpulan tali, sumarak di dalam kampuang, hiasan dalam nagari, nan gadang basa batuah, kok hiduik tampek banasa, kok mati tampek baniat, kaunduang-unduang kamadinah, kapayuang panji kasarugo.

2. Isi

Menurut kabar atau ceritera lisan Minangkabau, Bundo Kanduang adalah nama seorang tokoh wanita yang menurunkan raja-raja Minangkabau, berkedudukan di Istana Pagaruyung. Dalam perkembangan selanjutnya, Bundo Kanduang atau Bunda Kandung menjadi istilah yang berarti ibu sejati yang memiliki sifat-sifat keibuan dan kepemimpinan. Menurut adat Minangkabau ibu adalah tempat menarik tali turunan yang disebut matrilineal. Hal ini mengandung makna agar manusia yang dilahirkan oleh kaum ibu terutama laki-laki, menghormati dan memuliakan ibu tanpa pandang bulu.

Kedudukan wanita mendapat tempat yang sangat mulia dan terhormat, dilihat dari ciri khas adat Minangkabau yang diperlakukan kepada wanita antar lain: jika seorang ibu bersuku Piliang, maka anak yang dilahirkan baik laki-laki maupun perempuan harus bersuku Paliang sesuai dengan suku ibunya. Demikian pula jika seorang ibu bersuku jambak atau Caniago dan lain-lain, anak-anaknya harus bersuku sama dengan suku ibunya. Sifat yang herus dimiliki oleh Bundo Kanduang tidak jauh berbeda dengan sifat pemimpin adat Minangkabau atau penghulu, antara lain:

1. Dalam pergaulan sehari-hari Bundo Kanduang harus mencerminkan sifat-sifat baik dalam berkata-kata bertingkah laku serta benar dalam perbuatan. Dia harus menjauhi sifat pendusta, sebaliknya selalu berpihak dan menegakkan kebenaran.

2. Mendidik lingkungannya dengan memberi contoh, perbuatan yang jujur, baik dalam berkata-kata, berbicara maupun bertindak.

3. Dapat mengetahui dan membedakan hal yang benar dan yang salah, mengetahui untung rugi pada waktu akan melakukan pekerjaan dan mengambil suatu keputusan. Oleh karenanya seorang ibu harus mempunyai pengetahuan, sekurang-kurangnya pengetahuan tentang agama, pendidikan maupun bidang kewanitaan yang sangat berguna dalam berumahtangga. Untuk mengikuti pergaulan di lingkungan kampung dan nagarinya perlu juga mempunyai pengetahuan tentang adat dan situasi nagarinya.

4. Menurut adat Minangkabau seorang wanita harus pandai berbicara dalam arti fasih mengucapkan kata-kata dan enak didengar. Kepandaian berbicara atau berkata-kata ini sangat perlu bagi pendidikan di dalam rumah tangga, keluarga maupun di lingkungan kaumnya karena merupakan sarana untuk memberikan bimbingan kepada masyarakat, terutama bagi sesame kaum wanita dan anak-anak.

5. Mempunyai sifat rasa malu dalam dirinya sehingga akan mencegah perbuatan yang melanggar adat dan menyimpang dari hukum yang berlaku. Rasa malu merupakan benteng bagi wanita karena dapat menjauhkan sifat dan perbuatan tercela. Menurut adat Minangkabau sifat malu merupakan peran utama dalam kehidupan kaum wanita. Sebaliknya jika kehilangan rasa malu akan membahayakan kehidupan rumahtangga, bahkan membahayakan masyarakat (http://bundokanduang.wordpress.com).

Di sini terlihat jelas betapa tingginya penghargan orang Minang terhadap kaum perempuan khususnya ibu. Senada dengan pendapat H. Idrus Hakimi, Dra. Adriyetti Amir, S.U. ( salah satu staf pengajar di Fakultas Sastra Universitas Andalas) mengatakan bahwa Bundo Kanduang adalah tataran ideal seorang perempuan di Minangkabau yang mencerminkan segala sesuatu yang tercermin dalam mamangan adat di atas. Mereka adalah pemimpin sekaligus pengayom dalam masyarakatnya.

Walaupun ada beberapa daerah di seputar wilayah Minangkabau ini yang yang memanggil dengan sebutan lain selain Bundo Kanduang yaitu dengan sebutan Mande Rubiah de daerah Lunang Pesisir Selatan. Akan tetapi sifat-sifat yang dimiliki oleh Mande Rubiah tersebut sama halnya dengan sifat Bundo Kanduang pada umumnya yaitu mengayomi dan mimimpin. Berbeda dengan pandapat H. Idrus Hakimi dan Adriyetti Amir, seorang budayawan da de daerah Lunang Pesisir Selatan. Akan tetapi sifat-sifat yang dimiliki oleh Mande Rubiah tersebut sama halnya dengan sifat Bundo Kanduang pada umumnya yaitu mengayomi dan mimimpin.

H. Mas’oed Abidin dalam sebuah tulisannya menyebutkan bahwa Perempuan sering disebut dengan panggilan 'wanita'. Panggilan ini lazim dipakai di negeri kita. Seperti darma wanita, karya wanita, wanita karir, korp wanita, wanita Islam dsb. Kata-kata "wanita" (bhs.Sans), berarti lawan dari jenis lelaki, juga diartikan perempuan (lihat :KUBI). Lebih lanjut Mas’ud menyebutkan bahwa: Ada lagi yang memanggil wanita dengan sebutan 'perempuan.' (bhs.kawi,KUBI). Kata "empu" berasal dari Jawa kuno, berarti pemimpin (raja), orang pilihan, ahli, yang pandai, pintar dengan segala sifat keutamaan yang lain. Bila istilah ini yang lebih mendekati kebenaran, saya lebih cen­derung memakai kata perempuan selain wanita. Karena di dalamnya tergambar banyak peran Antara lain pemimpin, pandai, pintar, dan memiliki segala sifat keutamaan rahim, penuh kasih sayang, juga dengan jelas mengungkapkan citra perempuan sebagai makhluk pili­han, pendamping jenis kelamin lain (laki‑laki). Laki‑laki yang kebanyakannya, dalam pandangan sebagian wanita, memiliki sifat pantang kerendahan, pantang kalongkahan, superiority complex, tak mau disalahkan dan tak mau dikalahkan, tidak sedikit yang akhirnya bisa bertekuk lutut dihadapan perempuan

Seorang perempuan menurut Mas’oed memiliki sifat feminim yang merupakan sumber kasih sayang, kelembutan, keindahan, dan sumber cahaya ilahi mempunyai potensi untuk menyerap dan mengubah kekuatan kasar menjadi sensitivitas, rasionalitas menjadi intuisi, dan dorongan seksual menjadi spir­itualitas sehingga memiliki daya tahan terhadap kesakitan, pen­deritaan dan kegagalan.

Sementara itu Bapak Musra Dahrizal Katik jo Mangkuto seorang budayawan dan seniman yang cukup dikenal di Padang berpendapat bahwa Bundo Kanduang terdiri dari dua kata yaitu kata Bundo dan Kanduang. Bundo berarti ibu dan kata kanduang pun di bagi menjadi dua yaitu prefik (ka) ditambah dengan kata dasar Anduang. Prefik (ka) bisa berarti menjadi atau untuk jadi dan anduang berarti nenek. Jadi Bundo Ka-anduang artinya kaum ibu di Minangkabau bukan hanya dituntut bisa menjadi orang tua (ibu) bagi anak-anak nya namun jauh dari itu mereka juga dituntut bisa menjadi nenek bagi cucunya kelak.

Ironisnya, apa yang terjadi pada perempuan Minangkabau saat ini?. Yang terjadi adalah mereka tidak lagi mampu menjadi Ibu bagi anak-anaknya, apalagi bila mereka dihadapkan kepada kenyataan bahwa mereka harus siap menjadi nenek bagi cucunya kelak. Hal ini dapat kita lihat pada pasangan muda Minangkabau yang saat ini telah mengenyam pendidikan tinggi. Mereka sibuk dengan segala macam pekerjaannya, sehingga tidak memiliki waktu untuk mengurus anaknya.

Anak-anak saat ini telah tumbuh dan berkembang dalam asuhan para pembantu. Kadangkala yang terjadi semasa masa pertumbuhannya anak pun tidak dengan satu orang pembantu saja. Hal ini menyebabkan anak-anak menjadi bingung dan pada akhirnya tidak merasakan kasih sayang orang tuanya. Tidak heran, jika saat ini terjadi anak kandung membunuh ibunya, anak lebih dekat dengan pembantunya karena dari para pembantulah mereka mendapatkan kasih sayang yang sesungguhnya.

Pertanyaan yang menarik adalah apakah saat ini masih bisakah kita menemukan hal-hal yang ideal untuk seorang perempuan itu dalam kehidupan masyarakat Minangkabau?, atau mungkin masyarakat Minangkabau telah terpengaruh dengan arus globalisasi yang menyusup hampir keseluruh sistim kehidupan. Perempuan sibuk dengan karir dan segala kesibukan yang dimilikinya sehingga meningglakan hakikat dirinya sebagai ibu dan nenek. Perempuan terlarut dalam isu emansipasi wanita yang seringkali digembar-gemborkan. Perempuan terlena dengan segala bentuk tututan atas persamaan hak dan kewajiban. Sementara ia terikat oleh sebuah kodrat yang harus dijalaninya.

Barangkali hal inilah yang diharapkan untuk dicarikan jawabannya. Karena sudah selayaknya generasi muda Minangkabau mengetahui, khusunya generasi muda perempuan, karena merekalah kelak yang akan menjadi Bundo Kanduang itu. Apakah mereka telah layak mendapat prediket sebagai seorang Bundo Kanduang?.

3. Kesimpulan

Dari uraian di atas terlihat dengan jelas bahwa peremupuan di Minangkabau memiliki posisi yang sangat sentral dalam segala bidang kehidupan. Saking sentralnya posisi seorang perempuan, beliau diberi sebutan sebagai Bundo Kanduang (Ibu Sejati). Kesejatian seorang ibu ditandai dengan sifat-sifat yang dimilikinya yang hampir sama dengan sifat seorang penghulu.

Namun seiring dengan perkembangan zaman, dan orientasi yang dimiliki oleh perempuan-perempuan minang saat ini, mereka telah kehilangan kesejatiannya dalam hidup dan kehidupannya. Anak-anak tidak lagi dibesarkan dengan kasih sayangnya, melainkan dengan kasih sayang seorang pembantu.

Daftar Bacaan dan wawancara

  1. Bundo Kanduang Ibu Sejati Menurut Adat Minangkabau. Diakses dari http://bundokanduang.wordpress.com/2008/02/29/bundo-kanduang-ibu-sejati-menurut- dat-minangkabau/ tanggal 15 April 2010
  2. Idrus Hakimy, “Peganggan Panghulu dan Bundo Kanduang dan Pidato Alua Pasambahan Adat di Minangkabu”

3. H. Mas’oed Abidin. 2001. Hak Perempuan Menurut Pandangan Islam (Terhadap Tanah Ulayat di Minangkabau)

4. Kamus Umum Bahasa Indonesia.

Wawancara:

  1. Adriyetti Amir, SU. Mantan Dekan Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang. Wawancara tanggal 1 Januari 2003. di Gedung Nasional Kerinci, Propinsi Jambi.
  2. Musradahrizal Katik Jo Mangkuto. Budayawan Sumatra Barat. Wawancara Tanggal 1 Januari 2003 di Gedung Nasional Kerinci, Jambi.

Rabu, 28 April 2010

Wisata Kuliner Di Padang

Ada beberapa tempat jajanan yang layak untuk di kunjungi ketika berada di kota Padang. Tempat-tempat itu adalah:
  1. Jl. Pattimura: terkenal dengan jajanan cendol yang layak untuk anda coba, selain itu di Jl. Pattimura juga terdapat beberapa buah distro untuk anda berbelanja kebutuhan sandang.
  2. Jl. Ahmad Yani: di sepanjang jalan ini terdapat beberapa tempat makan yang juga mesti anda coba, yaitu lesehan/pujasera Nagoya dengan aneka makanan nusantara dan seafood, Pondok Sate Taman Sari, yang menawarkan aneka sate dan makanan dalam dan laur negeri, tepat di samping Pondok sate Taman Sari anda akan bertemu dengan Pizza Hut yang bersebelahan dengan RedBean Cafe.
  3. Jl.

Kamis, 12 November 2009

Hari Ini

Hari ini adalah esok yang kebetulan datang lebih dulu
Hari ini adalah kemarin yang ditinggalkan esok
Hari ini kita di sini

Esok adalah hari ini yang telah ditinggalkan
Esok adalah harapan
Esok adalah apa yang kita impikan hari ini

kemarin adalah sesuatu yang terlepas
kemarin adalah jejak
kemarin adalah air mata*

*ditambahkan Oleh Afriyendi Gusti Pandu